*Ini kisah seorang gadis pemimpi. Gadis yang tak
jarang mengalami jatuh dalam perjuangannya, gadis yang harus berlari guna
mewujudkan ambisinya. Ia telah berkali-kali mengubur mimpinya, untuk kemudian
menghidupkan mimpi yang lain lagi. baginya, mewujudkan mimpi itu susah, lelah.
Tapi, karena mimpi itu menghidupkan, mana mau ia berhenti, meski sayapnya harus
patah, ia akan terus terbang, tetap terbang.
Di
suatu siang yang sejuk, ia bercerita padaku.
Mbak,
dulu, sewaktu akhirnya aku harus tetap kuliah di Salatiga, aku pernah sangat
merasa ketakutan. Aku takut tak bisa melihat dunia diluar sana. Sebenarnya, aku
ingin belajar di dunia yang maha luas, mengerti seperti apa rintangan diluar
sana, kemudian berusaha melewatinya. Aku bercerita pada seorang teman, teman yang
memotivasiku utnuk menjadi lebih baik lagi, dan ia bilang “Bukan berarti di
Salatiga, kau tak bisa melihat dunia. Buktikanlah, kau selalu berbeda di
mataku. Kau pasti bisa membuka pintu untuk keluar sana. Aku percaya”. Ia dengan
yakin mengatakan hal itu padaku, Mbak.. dan hal itu membuatku semangat. Ya, aku
menghidupkan mimpi baru, aku bertekad akan membuka pintuku untuk melihat dunia.
Ajaib
Mbak. Berani bermimpi berarti berani menerima resiko dari mimpi itu : Terwujud,
atau terkubur untuk kemudian bermimpi lagi. Aku menerima resiko yang
menyenangkan. Mimpiku sedikit demi sedikit terwujud, bahkan lebih indah dari
apa yang telah aku bayangkan.
Diawali
dari pagi yang dingin di kampus, aku melihat pengumuan lomba khitobah bahasa
arab. Aku tanpa ragu mendaftar, menjadi pendaftar pertama. Salah seorang
panitia bertanya darimana aku, dan aku menjawab. Bertanya lulus dari mana, aku
menjawab. Wajah panitia ini mulai meragukanku, aku memang bukan lulusan pondok
terkenal atau MAPK dengan kemampuan berbahasa yang tak diragukan, aku hanya
lulusan MAN tanpa embel-embel, tapi aku bangga. Dia bertanya lagi apakah aku
pernah nyantri, aku menjawab tidak. Hal itu semakin membuat panitia itu ragu.
Terserahlah. Niatku membuka pintu kesempatan, bukan pamer ke panitia itu
ataupun orang lain.
Hari
perlombaan dimulai, dan aku menjadi peserta ke 13 yang tampil. Seperti biasa,
aku mengerahkan segenap kemampuanku, dan singkat cerita aku berhasil menyabet
gelar juara. Tanpa aku sangka, juri-juri terkesan dengan penampilanku. Tak lama
berselang setelah kemenanganku itu, aku tiba-tiba dihubungi oleh seseorang yang
aku tidak kenal, seorang yang belakangan ku ketahui bahwa ia adalah ketua salah
satu UKM di kampus, ia memintaku lomba ke Jogja, katanya aku direkomendasikan
oleh juri khitobah tadi. Benar-benar indah takdir Allaah. Di Salatigapun, aku
diberi anugerah dan kesempatan yang luar biasa. Tidak main-main, di Jogja aku
mengikuti lomba tingkat nasional. Banyak sekali pengalaman yang aku dapat.
Berteman dengan banyak mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia,
menyenangkan sekali.
Pintu
kesempatan yang aku buka semakin lebar. Aku semakin punya banyak kesempatan
untuk keliling Jawa. Aku kemudian pergi ke Solo, Jakarta. Aku hampir pergi ke
Malang, tapi tidak jadi. Mungkin Allaah tahu aku punya maksud ‘tersembunyi’
jadi Ia tak mengizinkanku pergi ke Malang. Aku juga berkesempatan mengembangkan
kemampuan bicaraku didepan banyak orang. Dosenku langsung yang memberi titah
padaku untuk menjadi MC di acara yang lumayan besar, dan keterusan sampai
sekarang. Aku juga diberi tugas MC oleh kakak seniorku, di acara dengan ribuan
orang peserta. Dulu, aku pernah berkata dalam hati ketika aku menjadi peserta
dalam acara yang serupa. “Hebat sekali Mbak dan Mas yang berani jadi MC di
acara ini”, dan tidak lama lagi, aku yang akan berdiri di panggung itu,
berbicara dengan berbagai bahasa di depan ribuan peserta. Aku sekarang sadar
Mbak, yang terbaik menurut kia memang belum tentu yang terbaik menurut Allaah. Menurutku
dulu, aku mampu berada di jalan yang lebih besar daripada ini, tapi ternyata,
Allaah menempatkanku di jalan yang sempit karena Ia tahu aku mampu membuka
jalan yang lebih besar daripada yang aku bayangkan sebelumnya. Mbak, aku
beruntung berani bermimpi, aku beruntung pernah jatuh dan kemudian bangkit
lagi. Aku bersyukur memiliki kehidupan di tempat ini, bertemu dengan
orang-orang yang membagi kesempatannya padaku, percaya padaku yang sebenarnya masih perlu banyak belajar.
*Gadis itu mengakhiri ceritanya padaku. Ada sebutir
air yang menggantung di sudut matanya. Aku belajar banyak dari ceritanya. Tak
menyerah pada keadaan, dan tetap semangat walau hasrat tak benar-benar
tertambat. Benar-benar ada rahasia dibalik rahasia. Kurasa, ia telah lebih
dewasa setelah menjadi mahasiswa setahun ini. Semoga kemudahan tetap
menghampirinya, semoga jalan-jalan penuh rahmat mengiringi perjalanan
panjangnya.