Rabu, 14 Agustus 2013

Sang Pembuka Kesempatan



*Ini kisah seorang gadis pemimpi. Gadis yang tak jarang mengalami jatuh dalam perjuangannya, gadis yang harus berlari guna mewujudkan ambisinya. Ia telah berkali-kali mengubur mimpinya, untuk kemudian menghidupkan mimpi yang lain lagi. baginya, mewujudkan mimpi itu susah, lelah. Tapi, karena mimpi itu menghidupkan, mana mau ia berhenti, meski sayapnya harus patah, ia akan terus terbang, tetap terbang.
            Di suatu siang yang sejuk, ia bercerita padaku.
            Mbak, dulu, sewaktu akhirnya aku harus tetap kuliah di Salatiga, aku pernah sangat merasa ketakutan. Aku takut tak bisa melihat dunia diluar sana. Sebenarnya, aku ingin belajar di dunia yang maha luas, mengerti seperti apa rintangan diluar sana, kemudian berusaha melewatinya. Aku bercerita pada seorang teman, teman yang memotivasiku utnuk menjadi lebih baik lagi, dan ia bilang “Bukan berarti di Salatiga, kau tak bisa melihat dunia. Buktikanlah, kau selalu berbeda di mataku. Kau pasti bisa membuka pintu untuk keluar sana. Aku percaya”. Ia dengan yakin mengatakan hal itu padaku, Mbak.. dan hal itu membuatku semangat. Ya, aku menghidupkan mimpi baru, aku bertekad akan membuka pintuku untuk melihat dunia.
            Ajaib Mbak. Berani bermimpi berarti berani menerima resiko dari mimpi itu : Terwujud, atau terkubur untuk kemudian bermimpi lagi. Aku menerima resiko yang menyenangkan. Mimpiku sedikit demi sedikit terwujud, bahkan lebih indah dari apa yang telah aku bayangkan.
            Diawali dari pagi yang dingin di kampus, aku melihat pengumuan lomba khitobah bahasa arab. Aku tanpa ragu mendaftar, menjadi pendaftar pertama. Salah seorang panitia bertanya darimana aku, dan aku menjawab. Bertanya lulus dari mana, aku menjawab. Wajah panitia ini mulai meragukanku, aku memang bukan lulusan pondok terkenal atau MAPK dengan kemampuan berbahasa yang tak diragukan, aku hanya lulusan MAN tanpa embel-embel, tapi aku bangga. Dia bertanya lagi apakah aku pernah nyantri, aku menjawab tidak. Hal itu semakin membuat panitia itu ragu. Terserahlah. Niatku membuka pintu kesempatan, bukan pamer ke panitia itu ataupun orang lain.
            Hari perlombaan dimulai, dan aku menjadi peserta ke 13 yang tampil. Seperti biasa, aku mengerahkan segenap kemampuanku, dan singkat cerita aku berhasil menyabet gelar juara. Tanpa aku sangka, juri-juri terkesan dengan penampilanku. Tak lama berselang setelah kemenanganku itu, aku tiba-tiba dihubungi oleh seseorang yang aku tidak kenal, seorang yang belakangan ku ketahui bahwa ia adalah ketua salah satu UKM di kampus, ia memintaku lomba ke Jogja, katanya aku direkomendasikan oleh juri khitobah tadi. Benar-benar indah takdir Allaah. Di Salatigapun, aku diberi anugerah dan kesempatan yang luar biasa. Tidak main-main, di Jogja aku mengikuti lomba tingkat nasional. Banyak sekali pengalaman yang aku dapat. Berteman dengan banyak mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia, menyenangkan sekali.
            Pintu kesempatan yang aku buka semakin lebar. Aku semakin punya banyak kesempatan untuk keliling Jawa. Aku kemudian pergi ke Solo, Jakarta. Aku hampir pergi ke Malang, tapi tidak jadi. Mungkin Allaah tahu aku punya maksud ‘tersembunyi’ jadi Ia tak mengizinkanku pergi ke Malang. Aku juga berkesempatan mengembangkan kemampuan bicaraku didepan banyak orang. Dosenku langsung yang memberi titah padaku untuk menjadi MC di acara yang lumayan besar, dan keterusan sampai sekarang. Aku juga diberi tugas MC oleh kakak seniorku, di acara dengan ribuan orang peserta. Dulu, aku pernah berkata dalam hati ketika aku menjadi peserta dalam acara yang serupa. “Hebat sekali Mbak dan Mas yang berani jadi MC di acara ini”, dan tidak lama lagi, aku yang akan berdiri di panggung itu, berbicara dengan berbagai bahasa di depan ribuan peserta. Aku sekarang sadar Mbak, yang terbaik menurut kia memang belum tentu yang terbaik menurut Allaah. Menurutku dulu, aku mampu berada di jalan yang lebih besar daripada ini, tapi ternyata, Allaah menempatkanku di jalan yang sempit karena Ia tahu aku mampu membuka jalan yang lebih besar daripada yang aku bayangkan sebelumnya. Mbak, aku beruntung berani bermimpi, aku beruntung pernah jatuh dan kemudian bangkit lagi. Aku bersyukur memiliki kehidupan di tempat ini, bertemu dengan orang-orang yang membagi kesempatannya padaku, percaya padaku  yang sebenarnya masih perlu banyak belajar.
*Gadis itu mengakhiri ceritanya padaku. Ada sebutir air yang menggantung di sudut matanya. Aku belajar banyak dari ceritanya. Tak menyerah pada keadaan, dan tetap semangat walau hasrat tak benar-benar tertambat. Benar-benar ada rahasia dibalik rahasia. Kurasa, ia telah lebih dewasa setelah menjadi mahasiswa setahun ini. Semoga kemudahan tetap menghampirinya, semoga jalan-jalan penuh rahmat mengiringi perjalanan panjangnya.

Jalani dengan Sebaiiiiik Mungkin (^.^)//



Selamat malaaaam.. saya menulis ini pada malam hari setelah seharian saya belajar, saya merenung, saya memikirkan banyak hal, mengaitkan banyak hal. Seperti biasa, dalam tulisan ini saya ingin bercerita terlebih dahulu tentang hal-hal menakjubkan yang saya telah alami *kata lain dari curhat, hehe*.
            Saya, saya seseorang yang tahu rasanya jatuh *sakit*, bangun *kuat*, menang *bahagia*, kalah *kecewa*. Saya sudah akrab dengan hal-hal yang seperti itu. Seingat saya, pertama kali saya kalah adalah ketika umur saya 5 tahun, dalam sebuah lomba menghafal juz ‘amma tingkat kecamatan. Itu baru kalah dalam perlombaan akademis, dalam perlombaan kehidupan, saya lupa kapan saya pertama kali kalah, tapi saya sadar sekarang bahwa saya sering kalah, dan itu menyakitkan, melemahkan, mengecewakan, *hanya untuk beberapa saat* sama halnya dengan saat mengalami jatuh. Beberapa saat yang lain, ketika saya ‘memaksa’ diri saya untuk belajar dari kekalahan tersebut, ketika saya ‘mendoktrin’ pikiran saya untuk mengakhiri keadaan jatuh tersebut, saya merasa sangat bersyukur karena setelahnya saya mendapatkan kekuatan, saya jadi tahan banting terhadap problematika hidup yang bisa kapan saja menjatuhkan. Saya selalu menyiapkan payung sebelum hujan. Ya, ketika saya bangkit, saya selalu berkata kepada diri saya bahwa “Saya bisa lebih baik, saya bisa lebih cepat, saya bisa lebih bahagia”. Kata-kata itu nyatanya bisa membangkitkan semangat dan kemauan saya, serta tekad saya untuk tidak menyerah dan tidak terjatuh lebih lama. Untungnya, saya punya sifat ngotot dan keras terhadap ‘kelemahan’ yang Allaah anugerahkan kepada saya.
            Sedikit pesan kepada adik-adik saya yang ‘senasib’ dengan saya satu tahun silam : ingin berada pada jalan yang besar, pada tempat yang dikenal, pada suasana akademis yang menantang, namun harus berada di jalan yang kecil, pada tempat yang dipandang sebelah mata, pada suasana akademis yang biasa saja ; percayalah, bahwa inilah takdir terbaik yang Allaah berikan pada orang-orang terpilih bin istimewa. Orang-orang yang kuat bangkit setelah jatuh, orang-orang yang tersenyum kembali setelah tangis yang menjadi. Saya kutipkan firman Allaah dalam Q.S. At-Taubah : 120 “Sungguh Allaah tidak akan menyia-nyiakan pahala bagi orang-orang yang berbuat baik” Salah satu awal perbuatan baik damal ayat tersebut adalah bersyukur dan mengakhiri segala rupa kesedihan dan *maaf* umpatan kepada keadaan. Hal yang harus kita alami ketika kita berada pada jalan yang sempit adalah kita harus mempunyai kegigihan yang lebih untuk sampai pada tempat yang besar, sehingga kita harus berusaha lebih keras daripada mereka yang sudah berada pada jalan yang besar. Dan beruntunglah bagi orang-orang berusaha lebih keras karena orang yang berusaha lebih keras akan mendapatkan balasan yang lebih baik (Q.S. An-Nisa’ : 95-96).
            Saya ingat sebuah rumus fisika  yang dajarkan ketika saya kelas X dan diulangi ketika saya kelas XII, pada bab listrik *tapi lupa listrik dinamis atau statis* bahwa semakin kecil luas penampang maka akan semakin sedikit hambatan untuk arus listrik yang melewatinya. Saya ingin mengutak atik rumus tersebut. Analogikan diri kita dengan arus, jalan yang kita lewati dengan luas penampang, dan masalah serta airmata sebagai hambatan. Mirip ya, kalimatnya akan menjadi seperti ini, bahwa semakin kecil jalan yang harus kita lalui, maka akan semakin sedikit masalah yang akan menghambat perjalanan yang diri kita lalui. Semoga memang begitu. Mungkin dari lingkungan memang lebih sedikit masalah, sementara dari diri kita sendiri, terutama bagi orang-orang yang berambisi, mempunyai mimpi besar sebelum ini, pasti awalnya akan terasa begitu sulit. Kembali lagi, saya mengutip ayat Al-Qur’an, “Dan Kami memudahkan bagimu ke jalan kemudahan (mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat)” Q.S. Al-A’laa : 8. Diperkuat lagi dalam Q.S. Al-Lail : 7 “Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan”. Dari dua ayat ini, bisa dimaknai bahwa kesulitan, kesedihan, dan kekecewaan di awal itu adalah cara Allaah untuk memudahkan jalan yang akan kita tempuh selanjutnya. Mau bersedih apalah gunanya, toh kita juga sudah ada di jalan ini. Yakini saja, inilah jalan yang Allaah berikan kepada kita untuk menuju kebahagiaan, sebagaimana FirmanNya.
            Dalam hidup, kita pasti memohon terus berada dalam kebahagiaan, ketentraman, kedamaian jiwa dan raga, namun tak jarang Allaah memberika kesulian, kekecewaan, kehilangan dalam hidup kita ini. Ya, tawa dan tangis memang kehendak Allaah “Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”Q.S. An-Najm : 43. Tipsnya dalam hidup, yang pasti sudah populer ditelinga segenap pembaca ialah sabar ketika kita menangis, dan syukur ketika kita tertawa. Allaah pasti punya maksud dibalik segala macam peristiwa. Husnudzon saja, sebagaimana hadits riwayat Muslim, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata Rasulullaah saw. Bersabda : Allaah Azza wa Jalla berfirman : Aku bertindak berdasarkan prasangka hambaKu kepadaKu. Aku bersamaNya ketika ia mengingatKu. Jika ia mengingatku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriKu, jika ia mengingatKu ditengah-tengah suatu kaum, tentu Aku akan mengingatnya dalam suatu kaum yang lebih besar daripada mereka. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal, tentu Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Apabila ia mendekat kepadaKu sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Dan apabila ia datang kepadaKu dengan berjalan, tentu aku akan mendatangiNya dengan berlari-lari kecil”. Allaah Maha Baik, Maha Pemberi Rahmat. Saya selalu yakin bahwa berada di jalan yang kecil berarti diberi kesempatan untuk menemukan sebuah perempatan yang lebih besar, sangat besar, yang jauh lebih menyenangkan dan menantang daripada yang kita bayangkan dahulu kala. Tentu saja rencana Allaah lebih indah, bagi orang-orang yang mau berusaha melalukan segalanya sebaik mungkin, dimanapun kita berada. “Tidak ada sehelai daunpun yang gugur yang tidak diketahuiNya, tidak ada sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah, atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz)” Q.S. Al-An’am : 79. Subhanallaah.. dimanapun kita, sesakit apapun kita, sesulit apapun kita menerima keadaan, yakinilah bahwa itulah cara Allaah untuk membahagiakan kehidupan kita di dunia maupun di akhirat, dari firman tadi bukankah sudah jelas bahwa ada makna jika Allaah mengetahui segala fenomena, yang ada diluar pemahaman manusia.
            So, just do our  best guys… I’m sure we’ll get the best too… Semangaaaaatttt… (^.^)//

Rabu, 17 Juli 2013

Akhirnyaaaa...(^.^)/



                Aku senantiasa berusaha bersyukur setiap waktu, setiap detik, demi sebuah pemahaman – bersyukur akan menjadikan nikmat-nikmat berlipatganda, tentu atas kuasa Allaah Azza wa  Jalla – terlebih hari ini, maghrib ini tepatnya.
            April, Mei, Juni, Juli… akhirnya hak kami meleleh juga. Angka di rekening kami bertambah, setidaknya ada angka 0 yang menganak dibelakang angka 0 sebelumnya. Rasanya menyenangkan. Ini kali kedua bagiku, dan bagi teman-teman angkatan 2012. Penantian yang kami lakukan, doa yang kami hantarkan, usaha dan kerjasama yang kami usahakan, akhirnya uang dapat tergelontorkan.
            Masih membekas rasanya, ketika dengan terpaksa aku mengutak-atik tabungan S2 ku untuk registrasi kemarin. Antara rela dan tidak rela. Masih ingan juga betapa sesaknya rasa ini ketika hanya bisa melihat teman kesusahan, tanpa mampu member bantuan. Huh… dan masa-masa itu akhirnya sore tadi berakhir. SMS demi SMS masuk mengabarkan berita itu. Angkatan 11 – 12 seakan tak mau sampai ada saudara seperjuangan yang ketinggalan info ini. Puji-pujian petanda rasa syukur ke hadiratNya memenuhi beranda facebook. Saat ini akan sangat kurindukan suatu saat nanti.
            Terimakasih atas nikmat yang bertubi-tubi ini Allaah terimakasih juga atas kesempatan demi kesempatan banyak yang Kau berikan secara gratis bagi hambaMu ini… Beribu syukur terpanjat, beribu harap Kau jawab… jawaban yang hebat, jawaban yang sungguh tepat. Semoga ini semua akan menjadikan kami lebih takwa, lebih baik, lebih semangat, lebih tekun, lebih berhasil, lebih bahagia. Kami bersyukur, sangat bersyukur, bahkan keluhkesahpun hakikatnya adalah bentuk kesyukuran kami, meski dengan cara yang berbeda. Berilah berkah kepada orang-orang yang berperan dalam penyaluran dana ini… Allaah, jaga hati kami untuk selalu bersyukur…untuk senantiasa mendapat lipat ganda dari tangan-tanganMu yang Baik luarrr biasaaaa…Maha Suci Allaah, segala puji bagiNya…

Sabtu, 18 Mei 2013

Kau (yang ternyata) Berpamitan



Ia tiba-tiba tersenyum padaku. Senyum bijaksana,.menatapku dari jarak 2 meter, lalu mentapku dengan tatapan yang mengendalikan. Ku selalu senang melihatnya, tapi senang yang kali ini berbeda. Aku senang bukan kepalang. Ia benar-benar hadir lagi. Di kehidupanku yang sekarang. Aku membuat janji dengan diriku sendiri, aku akan berdamai dengan masa laluku yang dulu, karena ia telah dating, seolah menjemputku.
            Tanpa ragu, aku melangkahkan kaki cepat-cepat kepadanya. Kudekap punggungnya dan kupeluk erat, ingin menyatakan betapa aku rindu. Aku tepat menyandarkan kepalaku di bahunya, ia mengelusnya, seperri dulu saat masa SMA, pertanda saying, katanya. Tak ada kata untuk beberapa menit, tapi indahya bukan main. Amboi sekali, aku tak kunjung melepaskan pelukan ini, rasanya nyaman. Kekasihku kembali dari perantauan, membawa kasih saying yang berbu-ribu. Cintanya semoga masih menggebu, aku ingin bertanya apakah utusan rinduku sampai kepadanya? Apakah untaian doaku membuatnya lebih bahagai disana? Oh, dalam pelukan ini hatiku bertanya, dania menjawab secara otomatis dan tiba-tiba dengan anggukan dan senyum yang masih sebijaksana tadi. Pertanda iya. Bukan kepalang aku senang saat itu. Hatiku tidak lantas  menjadi hati yang ajaib lalu terbang, tapi hatiku menjadi hati yang tergembok di tempatnya, merasa  sesak sesak yang dulu memberatkan luruh seketika. Ringan.
Beberapa menit berselang, ia menggandeng tanganku, mengajakku berjalan di tempat yang aku tidak pernah mengetahuinya. Hanya beberapa orang yang  ada disana yang pernah aku lihat, di masa SMAku. Aku menoleh kepadanya. Ia menatapku, tatapan yang masih mengendalikan. Aku tersenyum, sepertinya mataku berbinar saat itu. Dan hey, lihat siapa yang ada disana. Ia Salma, teman dekatku dulu. Dan Afwa, Luluk, Rini, Nafi, dan Halimah. Semuanya ada di sini. Sebenarnya tempat apakah ini? Aku menoleh lagi kepadanya, kali ini alisku hampir bertemu, tapi dia justeru mempererat genggaman tangannya. Hangat. Kembali kami melangkah, tanpa menyapa mereka, teman-teman yang entah melihat kami atau tidak.
Dalam langkah yang aku tidak tahu menuju kemana, aku berjalan disampingnya. Lalu  setelah melewati jalan yang aku belum pernah melewatinya, kami tiba di bangunan SMA kami. Tempat kami pertama kali bertemu, tempat kami pertama kali saling jatuh cinta. Gerbangnya masih seperti 6 tahun yang lalu. Saat umurku masih 17 tahun. Perpustakaan yang menyenangkan, mushala, kantin, lapangan, laboratorium, dan ruang kelas kami. Dan, foto-foto kami masih ada disana. Lihat. Itu aku 6 tahun lalu. Dan, itu ia 6 tahun lalu. Manis sekali. Aku berkali-kali membandingkan wajahnya 6 tahun yang lalu dan sekarang. Sama. Sama-sama menentramkan. Aku tertawa kecil, ia menoleh, dan memandang sepasang bangku di pojok kelas dekat jendela. Dari sepasang bangku itu, kami dapat melihat lukisan alam yang tanpa cacat. Puncak gunung yang menjulang, jalan-jalan yang bersih, hanya satu-dua  saja yang lewat, lalu ketika tiba pukul sepuluh pagi, ada anak-anak TK yang pulang bersama orang tuanya, juga buah rambutan yang merahnya merona di halaman rumah penduduk, dan bunga-buga keningkir yang terlihat kuning cantik dari bangku ini. Aku melihat semua itu bersamanya lagi. Persis seperti dulu, ah tidak, bukan persis. Ada satu yang berbeda. Aku tak lagi berseragam, bajuku hari ini pink, warna kesukaanku, dan dia, hey, aku baru sadar jika ia memakai baju yang kuberikan dulu. Kemeja kotak-kotak biru. Tampan sekali.
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku sampai disini, melihat semua yang menakjubkan ini bersamanya, memeluknya seerat mungkin, tersenyum sesering mungkin, bertanya banyak, dan merasa sangat  bahagia. Aku melihat keluar jendela. Elok, tetap elok. Aku menyukainya. Lalu aku terhenyak tiba-tiba. Tangannya yang erat menggenggam tanganku tiba-tiba melemah, dan genggaman tangan kami terlepas. Sontak akupun menatapnya. Iapun menatapku, dengan mata yang berkaca. Ia mengelus kepalaku lagi, ia menyayangiku, lalu ia  menggenggam pundakku, ia menguatkanku. Ia seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku mengangguk, menunggu kata-kata yang ingin ia utarakan.
“Sandra, aku tak tahu apakah aku masih pantas bicara seperti ini. Aku telah membuatmu menunggu terlalu lama. Bagiku, kaulah orang yang paling mengerti alasanku melakukan itu. Aku ingin terlebih dahulu bersusah, memayahkan diriku dengan kerja keras, mencerdaskan hati dan fikiranku sehingga aku menjadi orang yang kaya hati dan ilmu, menjadi orang yang benar-benar kau cari, lalu datang menjemputmu, mengajakmu pergi menyambut janji kehidupan yang lebih terang dari mentari yang terik itu. Rencana yang menurutku sangat sempurna. Tapi, dalam enam tahun masa itu, aku menemukan suatu hal yang lebih sempurna dari rencanaku. Ialah rindumu, yang kau titipkan pada Tuhan untuk kemudian disampaikan padaku. Ia sangat sempurna, utuh bulat serupa dunia. Tapi aku tak pernah bisa membalasnya. Setelah ibuku, aku hanya akan mengatakan ini pada satu wanita, bahwa aku mencintainya. Dan wanita itu adalah kau, Sandra. Tapi, meski aku ingn mengatakannya, aku belum mampu. Aku yakin waktuku masih panjang, masih sangat panjang, tapi ternyata, Tuhan memerintahkan malalikatnya untuk mendekapku terlebih dahulu. Aku harus kembali, meski aku tak pernah ingin kembali tanpamu, tapi itulah yang terjadi. Aku lebih tak bisa mengajakmu. Senyummu masih didamba banyak orang. Nanti ketika kau sudah kembali, tegarlah dengan semuanya. Jangan pernah lupakan masa-masa yang pernah kita lewati bersama. Aku tak akan lagi merebut jatah oksigenmu seperti dulu. Aku tak akan lagi membuatmu tersipu malu. Aku tak akan lagi mengelusmu dan membuat semua orang iri karena haya aku yang kau izikan untuk melakukannya. Aku mencintaimu, Sandra. Aku hanya menyatakannya pada satu wanita, kaulah. Knin aku menemukan hangat yang tak terperi disini, Tuhan sangat menyayangiku, juga menyayangimu, kutunggu kau di keabadian, ditepi sungai yang airnya seputih susu, di persimpangan langit tempat kita menancapkan mimpi-mimpi kita dulu”.
Lalu, ia menangis. Akupun juga. Kristal bening ini mewakili mulutku yang bisu tiba-tiba. Aku menjadi seperti patung, kaku tak mampu bergerak sama sekali. Hanya aliran kristal bening ini yang menderas, tak tertahankan. Namun tiba-tiba aku tersenyum, ada bahagia yang menyusup dipasukan kesedihan yang mengepung pertahanan hatiku. Ia memudar, aku tetap mematung dengan senyum sekaligus aitmata. Lalu ia hilang, dan aku tetap mematung, sendirian menjadi patung yang tersenyum sekaligus menangis. Sepasang bangku pojok kelas dekat jendela kosong satu.
Terdengar nada sms di hpku. Dengan malas dan sedikit cemas, aku beringsut lambat mengambilnya. Dari notification yang ada di layarnya, aku tahu kalau sms ini dari Amalia.
“Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiun,telah berpulang ke rahmatullah, kawan, sahabat, saudara kita Aska Langit, tadi pagi pukul 03.00. Semoga ia ditempatkan di pelukan Tuhan, dan segenap keluarganya diberikan ketabahan.” Lalu aku terisak, menagis sejadi-jadinya. Hatiku bergetar hebat, tertikam kenyataan yang begitu meruntuhkan. Lalu pikirku melayang, mengawang mimpiku yang barusan. Kau, ternyata tadi Kau berpamitan, Aska… dan aku kembali menangis, jatuh dalam tikaman yang lebih dalam, sebelum akhirnya aku mampu bangkit, dan mengantarnya dalam hangatnya dekap sayap-sayap malaikat, dan penantianku selama enam tahun, dia membalasnya dengan penantian yang hanya Tuhan yang tahu durasinya. ~