Sabtu, 18 Mei 2013

Kau (yang ternyata) Berpamitan



Ia tiba-tiba tersenyum padaku. Senyum bijaksana,.menatapku dari jarak 2 meter, lalu mentapku dengan tatapan yang mengendalikan. Ku selalu senang melihatnya, tapi senang yang kali ini berbeda. Aku senang bukan kepalang. Ia benar-benar hadir lagi. Di kehidupanku yang sekarang. Aku membuat janji dengan diriku sendiri, aku akan berdamai dengan masa laluku yang dulu, karena ia telah dating, seolah menjemputku.
            Tanpa ragu, aku melangkahkan kaki cepat-cepat kepadanya. Kudekap punggungnya dan kupeluk erat, ingin menyatakan betapa aku rindu. Aku tepat menyandarkan kepalaku di bahunya, ia mengelusnya, seperri dulu saat masa SMA, pertanda saying, katanya. Tak ada kata untuk beberapa menit, tapi indahya bukan main. Amboi sekali, aku tak kunjung melepaskan pelukan ini, rasanya nyaman. Kekasihku kembali dari perantauan, membawa kasih saying yang berbu-ribu. Cintanya semoga masih menggebu, aku ingin bertanya apakah utusan rinduku sampai kepadanya? Apakah untaian doaku membuatnya lebih bahagai disana? Oh, dalam pelukan ini hatiku bertanya, dania menjawab secara otomatis dan tiba-tiba dengan anggukan dan senyum yang masih sebijaksana tadi. Pertanda iya. Bukan kepalang aku senang saat itu. Hatiku tidak lantas  menjadi hati yang ajaib lalu terbang, tapi hatiku menjadi hati yang tergembok di tempatnya, merasa  sesak sesak yang dulu memberatkan luruh seketika. Ringan.
Beberapa menit berselang, ia menggandeng tanganku, mengajakku berjalan di tempat yang aku tidak pernah mengetahuinya. Hanya beberapa orang yang  ada disana yang pernah aku lihat, di masa SMAku. Aku menoleh kepadanya. Ia menatapku, tatapan yang masih mengendalikan. Aku tersenyum, sepertinya mataku berbinar saat itu. Dan hey, lihat siapa yang ada disana. Ia Salma, teman dekatku dulu. Dan Afwa, Luluk, Rini, Nafi, dan Halimah. Semuanya ada di sini. Sebenarnya tempat apakah ini? Aku menoleh lagi kepadanya, kali ini alisku hampir bertemu, tapi dia justeru mempererat genggaman tangannya. Hangat. Kembali kami melangkah, tanpa menyapa mereka, teman-teman yang entah melihat kami atau tidak.
Dalam langkah yang aku tidak tahu menuju kemana, aku berjalan disampingnya. Lalu  setelah melewati jalan yang aku belum pernah melewatinya, kami tiba di bangunan SMA kami. Tempat kami pertama kali bertemu, tempat kami pertama kali saling jatuh cinta. Gerbangnya masih seperti 6 tahun yang lalu. Saat umurku masih 17 tahun. Perpustakaan yang menyenangkan, mushala, kantin, lapangan, laboratorium, dan ruang kelas kami. Dan, foto-foto kami masih ada disana. Lihat. Itu aku 6 tahun lalu. Dan, itu ia 6 tahun lalu. Manis sekali. Aku berkali-kali membandingkan wajahnya 6 tahun yang lalu dan sekarang. Sama. Sama-sama menentramkan. Aku tertawa kecil, ia menoleh, dan memandang sepasang bangku di pojok kelas dekat jendela. Dari sepasang bangku itu, kami dapat melihat lukisan alam yang tanpa cacat. Puncak gunung yang menjulang, jalan-jalan yang bersih, hanya satu-dua  saja yang lewat, lalu ketika tiba pukul sepuluh pagi, ada anak-anak TK yang pulang bersama orang tuanya, juga buah rambutan yang merahnya merona di halaman rumah penduduk, dan bunga-buga keningkir yang terlihat kuning cantik dari bangku ini. Aku melihat semua itu bersamanya lagi. Persis seperti dulu, ah tidak, bukan persis. Ada satu yang berbeda. Aku tak lagi berseragam, bajuku hari ini pink, warna kesukaanku, dan dia, hey, aku baru sadar jika ia memakai baju yang kuberikan dulu. Kemeja kotak-kotak biru. Tampan sekali.
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku sampai disini, melihat semua yang menakjubkan ini bersamanya, memeluknya seerat mungkin, tersenyum sesering mungkin, bertanya banyak, dan merasa sangat  bahagia. Aku melihat keluar jendela. Elok, tetap elok. Aku menyukainya. Lalu aku terhenyak tiba-tiba. Tangannya yang erat menggenggam tanganku tiba-tiba melemah, dan genggaman tangan kami terlepas. Sontak akupun menatapnya. Iapun menatapku, dengan mata yang berkaca. Ia mengelus kepalaku lagi, ia menyayangiku, lalu ia  menggenggam pundakku, ia menguatkanku. Ia seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku mengangguk, menunggu kata-kata yang ingin ia utarakan.
“Sandra, aku tak tahu apakah aku masih pantas bicara seperti ini. Aku telah membuatmu menunggu terlalu lama. Bagiku, kaulah orang yang paling mengerti alasanku melakukan itu. Aku ingin terlebih dahulu bersusah, memayahkan diriku dengan kerja keras, mencerdaskan hati dan fikiranku sehingga aku menjadi orang yang kaya hati dan ilmu, menjadi orang yang benar-benar kau cari, lalu datang menjemputmu, mengajakmu pergi menyambut janji kehidupan yang lebih terang dari mentari yang terik itu. Rencana yang menurutku sangat sempurna. Tapi, dalam enam tahun masa itu, aku menemukan suatu hal yang lebih sempurna dari rencanaku. Ialah rindumu, yang kau titipkan pada Tuhan untuk kemudian disampaikan padaku. Ia sangat sempurna, utuh bulat serupa dunia. Tapi aku tak pernah bisa membalasnya. Setelah ibuku, aku hanya akan mengatakan ini pada satu wanita, bahwa aku mencintainya. Dan wanita itu adalah kau, Sandra. Tapi, meski aku ingn mengatakannya, aku belum mampu. Aku yakin waktuku masih panjang, masih sangat panjang, tapi ternyata, Tuhan memerintahkan malalikatnya untuk mendekapku terlebih dahulu. Aku harus kembali, meski aku tak pernah ingin kembali tanpamu, tapi itulah yang terjadi. Aku lebih tak bisa mengajakmu. Senyummu masih didamba banyak orang. Nanti ketika kau sudah kembali, tegarlah dengan semuanya. Jangan pernah lupakan masa-masa yang pernah kita lewati bersama. Aku tak akan lagi merebut jatah oksigenmu seperti dulu. Aku tak akan lagi membuatmu tersipu malu. Aku tak akan lagi mengelusmu dan membuat semua orang iri karena haya aku yang kau izikan untuk melakukannya. Aku mencintaimu, Sandra. Aku hanya menyatakannya pada satu wanita, kaulah. Knin aku menemukan hangat yang tak terperi disini, Tuhan sangat menyayangiku, juga menyayangimu, kutunggu kau di keabadian, ditepi sungai yang airnya seputih susu, di persimpangan langit tempat kita menancapkan mimpi-mimpi kita dulu”.
Lalu, ia menangis. Akupun juga. Kristal bening ini mewakili mulutku yang bisu tiba-tiba. Aku menjadi seperti patung, kaku tak mampu bergerak sama sekali. Hanya aliran kristal bening ini yang menderas, tak tertahankan. Namun tiba-tiba aku tersenyum, ada bahagia yang menyusup dipasukan kesedihan yang mengepung pertahanan hatiku. Ia memudar, aku tetap mematung dengan senyum sekaligus aitmata. Lalu ia hilang, dan aku tetap mematung, sendirian menjadi patung yang tersenyum sekaligus menangis. Sepasang bangku pojok kelas dekat jendela kosong satu.
Terdengar nada sms di hpku. Dengan malas dan sedikit cemas, aku beringsut lambat mengambilnya. Dari notification yang ada di layarnya, aku tahu kalau sms ini dari Amalia.
“Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiun,telah berpulang ke rahmatullah, kawan, sahabat, saudara kita Aska Langit, tadi pagi pukul 03.00. Semoga ia ditempatkan di pelukan Tuhan, dan segenap keluarganya diberikan ketabahan.” Lalu aku terisak, menagis sejadi-jadinya. Hatiku bergetar hebat, tertikam kenyataan yang begitu meruntuhkan. Lalu pikirku melayang, mengawang mimpiku yang barusan. Kau, ternyata tadi Kau berpamitan, Aska… dan aku kembali menangis, jatuh dalam tikaman yang lebih dalam, sebelum akhirnya aku mampu bangkit, dan mengantarnya dalam hangatnya dekap sayap-sayap malaikat, dan penantianku selama enam tahun, dia membalasnya dengan penantian yang hanya Tuhan yang tahu durasinya. ~