Kristal ini tiba-tiba saja
jatuh tanpa mampu ku kendalikan. Ia hadir mengisi senjaku yang selalu
menakjubkan. Teriring foto-fotonya yang kullihat di jejaring sosialnya saat
ini, kenangan itu menjelma menjadi kenangan yang teramat ku rindukan. Dalam
hati, aku memohon kepada Tuhan untuk tidak pernah merubahnya menjadi orang lain
meskipun aku percaya penuh Ia mampu
melakukannya.
Aku
melihatnya tersenyum dengan pipi chubbynya dan wajah kekanak-kanakannya.
Fotonya saat 4 tahun yang lalu, saat dimana aku belum mengenalnya. Lalu, foto
saat ia berseragam putih abu-abu, masa dimana aku merasa sangat nyaman berada
di sampingnya. Lalu foto aku dan dia sedang tertawa bersama, manyun bersama,
sok sedih bersama, sok serius bersama, ah…masa-masa alay kami. Foto yang
kulihat, semuanya, bukti otentik kedekatan kami, dulu, dan entah sampai kapan,
karena kini meski kami telah jauh, kami tetap menjaga hubungan yang indah ini.
Oh..menyadari
jarak yang terbentang, ketakutan menelusup menikam keindahan senja ini. Semakin
senja menghilang, semakin langit menghitam, bayangan ini semakin menjadi momok
bagiku. Aku masih ingin berada pada tempat yang sama dengannya. Masih sangat
ingin. Sangat ingin. Dan aku terhenyak. Aku keluar dan melihat langit yang
setia memayungiku. Masih langit Salatiga. Belum berubah. Hatiku tertikam
kembali. Lebih hebat. Bukan hanya daratan yang menjadi tempat kami berpijak
yang jaraknya ribuan kilo, tapi juga langit yang mulai berubah warnanya itupun
juga telah berjarak beribu kilo. Kembali kristal ini mendesak mataku. Keluar
lebih deras dari yang sebelumnya. Aku benar-benar rindu. Kuharap langit disana
sama persis dengan langit Salatigaku. Kuharap senja disana sama persis dengan
senja di Salatiga.
Aku
masih larut dalam ketakutanku. Aku masih berkutat dengan kenangan itu. Diatas
bentang sajadah maghribku, aku menelisik asal muasal dari perasaan ini. Aku
memutar kembali reka adegan tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun saat Tuhan
mengizinkanku membagi oksigen dengannya, di masa yang paling indah, di tempat
yang begitu bersejarah. Siluet wajahnya tergambar jelas dalam mataku yang
terpejam, senyum itu, mata itu, alis itu, telinga itu, dahi itu, dagu itu, pipi itu, gigi itu, semua sempurna tergambar,
wajahnya benar-benar sempurna tergambar, diatas bentangan sajadah maghribku.
Tapi hal itu belum cukup menjadi alat untuk menelisik asal muasal perasaan ini.
Aku masih kebingungan, sementara Kristal bening ini menderas tanpa mampu
kukendalikan.
Aku
memilih mengacuhkan penelisikanku untuk sejenak. Tasbih tahmid kulantunkan
sebagai rasa syukurku atas kenangan yang menyeruakkan beribu rindu. Tuhan, aku
ingin berbicara denganmu, bertanya tentang ini itu, yang aku tak tahu, bertanya
tentang ini itu, yang aku ingin sekali tahu. Lalu dengan tartilan sebisaku, aku
membuka mushaf suci dari Ibu. Semakin
lama, rasanya semakin damai, semakin tenang, semakin hatiku terasa
sejuk. Dan krtistal ini, entah untuk yang keberapa kali menitik begitu saja.
Bukan lagi karena keresahan dan desakan rindu yang tak aku mengerti, namun
lebih karena ketakjubanku dan rasa syukurku pada Tuhan senja itu. Satu ayat
yang indah, yang menggetarkan sebongkah hatiku tiba-tiba, yang semoga menjadi
jawaban penelisikan atas rasa ini, atas ketakutan ini, atas kerinduan ini, atas
kenangan-kenangan ini, atas perbedaan darat dan langit, juga atas jarak yang sebenarnya
jauh namun tak kunjung memisahkan. واصطنعتك لنفسي –Dan Aku telah memilihmu untuk diriku—Maha Benar Engkau yang
Maha Agung dengan Segala firmanMu... Entah akan berapa banyak kristal ini akan
menitik, aku tak terlalu punya keinginan untuk menghitungnya. Aku hanya akan
terus menjadi setia, sesetia langit Salatiga memayungiku hingga masa yang aku
tak mampu tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar