Minggu, 28 April 2013

Bentang Sajadah Maghribku



Kristal ini tiba-tiba saja jatuh tanpa mampu ku kendalikan. Ia hadir mengisi senjaku yang selalu menakjubkan. Teriring foto-fotonya yang kullihat di jejaring sosialnya saat ini, kenangan itu menjelma menjadi kenangan yang teramat ku rindukan. Dalam hati, aku memohon kepada Tuhan untuk tidak pernah merubahnya menjadi orang lain meskipun aku  percaya penuh Ia mampu melakukannya.
            Aku melihatnya tersenyum dengan pipi chubbynya dan wajah kekanak-kanakannya. Fotonya saat 4 tahun yang lalu, saat dimana aku belum mengenalnya. Lalu, foto saat ia berseragam putih abu-abu, masa dimana aku merasa sangat nyaman berada di sampingnya. Lalu foto aku dan dia sedang tertawa bersama, manyun bersama, sok sedih bersama, sok serius bersama, ah…masa-masa alay kami. Foto yang kulihat, semuanya, bukti otentik kedekatan kami, dulu, dan entah sampai kapan, karena kini meski kami telah jauh, kami tetap menjaga hubungan yang indah ini.
            Oh..menyadari jarak yang terbentang, ketakutan menelusup menikam keindahan senja ini. Semakin senja menghilang, semakin langit menghitam, bayangan ini semakin menjadi momok bagiku. Aku masih ingin berada pada tempat yang sama dengannya. Masih sangat ingin. Sangat ingin. Dan aku terhenyak. Aku keluar dan melihat langit yang setia memayungiku. Masih langit Salatiga. Belum berubah. Hatiku tertikam kembali. Lebih hebat. Bukan hanya daratan yang menjadi tempat kami berpijak yang jaraknya ribuan kilo, tapi juga langit yang mulai berubah warnanya itupun juga telah berjarak beribu kilo. Kembali kristal ini mendesak mataku. Keluar lebih deras dari yang sebelumnya. Aku benar-benar rindu. Kuharap langit disana sama persis dengan langit Salatigaku. Kuharap senja disana sama persis dengan senja di Salatiga.
            Aku masih larut dalam ketakutanku. Aku masih berkutat dengan kenangan itu. Diatas bentang sajadah maghribku, aku menelisik asal muasal dari perasaan ini. Aku memutar kembali reka adegan tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun saat Tuhan mengizinkanku membagi oksigen dengannya, di masa yang paling indah, di tempat yang begitu bersejarah. Siluet wajahnya tergambar jelas dalam mataku yang terpejam, senyum itu, mata itu, alis itu, telinga itu, dahi itu, dagu itu, pipi itu, gigi itu, semua sempurna tergambar, wajahnya benar-benar sempurna tergambar, diatas bentangan sajadah maghribku. Tapi hal itu belum cukup menjadi alat untuk menelisik asal muasal perasaan ini. Aku masih kebingungan, sementara Kristal bening ini menderas tanpa mampu kukendalikan.
            Aku memilih mengacuhkan penelisikanku untuk sejenak. Tasbih tahmid kulantunkan sebagai rasa syukurku atas kenangan yang menyeruakkan beribu rindu. Tuhan, aku ingin berbicara denganmu, bertanya tentang ini itu, yang aku tak tahu, bertanya tentang ini itu, yang aku ingin sekali tahu. Lalu dengan tartilan sebisaku, aku membuka mushaf suci dari Ibu. Semakin  lama, rasanya semakin damai, semakin tenang, semakin hatiku terasa sejuk. Dan krtistal ini, entah untuk yang keberapa kali menitik begitu saja. Bukan lagi karena keresahan dan desakan rindu yang tak aku mengerti, namun lebih karena ketakjubanku dan rasa syukurku pada Tuhan senja itu. Satu ayat yang indah, yang menggetarkan sebongkah hatiku tiba-tiba, yang semoga menjadi jawaban penelisikan atas rasa ini, atas ketakutan ini, atas kerinduan ini, atas kenangan-kenangan ini, atas perbedaan darat dan langit, juga atas jarak yang sebenarnya  jauh namun tak kunjung memisahkan. واصطنعتك لنفسي –Dan Aku telah memilihmu untuk diriku—Maha Benar Engkau yang Maha Agung dengan Segala firmanMu... Entah akan berapa banyak kristal ini akan menitik, aku tak terlalu punya keinginan untuk menghitungnya. Aku hanya akan terus menjadi setia, sesetia langit Salatiga memayungiku hingga masa yang aku tak mampu tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar