Ia tiba-tiba tersenyum padaku. Senyum bijaksana,.menatapku
dari jarak 2 meter, lalu mentapku dengan tatapan yang mengendalikan. Ku selalu
senang melihatnya, tapi senang yang kali ini berbeda. Aku senang bukan
kepalang. Ia benar-benar hadir lagi. Di kehidupanku yang sekarang. Aku membuat
janji dengan diriku sendiri, aku akan berdamai dengan masa laluku yang dulu,
karena ia telah dating, seolah menjemputku.
Tanpa ragu, aku
melangkahkan kaki cepat-cepat kepadanya. Kudekap punggungnya dan kupeluk erat, ingin
menyatakan betapa aku rindu. Aku tepat menyandarkan kepalaku di bahunya, ia
mengelusnya, seperri dulu saat masa SMA, pertanda saying, katanya. Tak ada kata
untuk beberapa menit, tapi indahya bukan main. Amboi sekali, aku tak kunjung
melepaskan pelukan ini, rasanya nyaman. Kekasihku kembali dari perantauan,
membawa kasih saying yang berbu-ribu. Cintanya semoga masih menggebu, aku ingin
bertanya apakah utusan rinduku sampai kepadanya? Apakah untaian doaku
membuatnya lebih bahagai disana? Oh, dalam pelukan ini hatiku bertanya, dania
menjawab secara otomatis dan tiba-tiba dengan anggukan dan senyum yang masih
sebijaksana tadi. Pertanda iya. Bukan kepalang aku senang saat itu. Hatiku tidak
lantas menjadi hati yang ajaib lalu
terbang, tapi hatiku menjadi hati yang tergembok di tempatnya, merasa sesak sesak yang dulu memberatkan luruh
seketika. Ringan.
Beberapa menit berselang, ia menggandeng tanganku, mengajakku berjalan
di tempat yang aku tidak pernah mengetahuinya. Hanya beberapa orang yang ada disana yang pernah aku lihat, di masa
SMAku. Aku menoleh kepadanya. Ia menatapku, tatapan yang masih mengendalikan.
Aku tersenyum, sepertinya mataku berbinar saat itu. Dan hey, lihat siapa yang
ada disana. Ia Salma, teman dekatku dulu. Dan Afwa, Luluk, Rini, Nafi, dan
Halimah. Semuanya ada di sini. Sebenarnya tempat apakah ini? Aku menoleh lagi
kepadanya, kali ini alisku hampir bertemu, tapi dia justeru mempererat
genggaman tangannya. Hangat. Kembali kami melangkah, tanpa menyapa mereka,
teman-teman yang entah melihat kami atau tidak.
Dalam langkah yang aku tidak tahu menuju kemana, aku
berjalan disampingnya. Lalu setelah
melewati jalan yang aku belum pernah melewatinya, kami tiba di bangunan SMA
kami. Tempat kami pertama kali bertemu, tempat kami pertama kali saling jatuh
cinta. Gerbangnya masih seperti 6 tahun yang lalu. Saat umurku masih 17 tahun.
Perpustakaan yang menyenangkan, mushala, kantin, lapangan, laboratorium, dan
ruang kelas kami. Dan, foto-foto kami masih ada disana. Lihat. Itu aku 6 tahun
lalu. Dan, itu ia 6 tahun lalu. Manis sekali. Aku berkali-kali membandingkan
wajahnya 6 tahun yang lalu dan sekarang. Sama. Sama-sama menentramkan. Aku
tertawa kecil, ia menoleh, dan memandang sepasang bangku di pojok kelas dekat
jendela. Dari sepasang bangku itu, kami dapat melihat lukisan alam yang tanpa
cacat. Puncak gunung yang menjulang, jalan-jalan yang bersih, hanya satu-dua saja yang lewat, lalu ketika tiba pukul
sepuluh pagi, ada anak-anak TK yang pulang bersama orang tuanya, juga buah
rambutan yang merahnya merona di halaman rumah penduduk, dan bunga-buga
keningkir yang terlihat kuning cantik dari bangku ini. Aku melihat semua itu
bersamanya lagi. Persis seperti dulu, ah tidak, bukan persis. Ada satu yang
berbeda. Aku tak lagi berseragam, bajuku hari ini pink, warna kesukaanku, dan
dia, hey, aku baru sadar jika ia memakai baju yang kuberikan dulu. Kemeja
kotak-kotak biru. Tampan sekali.
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba aku sampai disini,
melihat semua yang menakjubkan ini bersamanya, memeluknya seerat mungkin, tersenyum
sesering mungkin, bertanya banyak, dan merasa sangat bahagia. Aku melihat keluar jendela. Elok,
tetap elok. Aku menyukainya. Lalu aku terhenyak tiba-tiba. Tangannya yang erat
menggenggam tanganku tiba-tiba melemah, dan genggaman tangan kami terlepas.
Sontak akupun menatapnya. Iapun menatapku, dengan mata yang berkaca. Ia
mengelus kepalaku lagi, ia menyayangiku, lalu ia menggenggam pundakku, ia menguatkanku. Ia
seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku mengangguk, menunggu kata-kata yang ingin
ia utarakan.
“Sandra, aku tak tahu apakah aku masih pantas bicara
seperti ini. Aku telah membuatmu menunggu terlalu lama. Bagiku, kaulah orang
yang paling mengerti alasanku melakukan itu. Aku ingin terlebih dahulu
bersusah, memayahkan diriku dengan kerja keras, mencerdaskan hati dan fikiranku
sehingga aku menjadi orang yang kaya hati dan ilmu, menjadi orang yang
benar-benar kau cari, lalu datang menjemputmu, mengajakmu pergi menyambut janji
kehidupan yang lebih terang dari mentari yang terik itu. Rencana yang menurutku
sangat sempurna. Tapi, dalam enam tahun masa itu, aku menemukan suatu hal yang
lebih sempurna dari rencanaku. Ialah rindumu, yang kau titipkan pada Tuhan
untuk kemudian disampaikan padaku. Ia sangat sempurna, utuh bulat serupa dunia.
Tapi aku tak pernah bisa membalasnya. Setelah ibuku, aku hanya akan mengatakan
ini pada satu wanita, bahwa aku mencintainya. Dan wanita itu adalah kau,
Sandra. Tapi, meski aku ingn mengatakannya, aku belum mampu. Aku yakin waktuku
masih panjang, masih sangat panjang, tapi ternyata, Tuhan memerintahkan
malalikatnya untuk mendekapku terlebih dahulu. Aku harus kembali, meski aku tak
pernah ingin kembali tanpamu, tapi itulah yang terjadi. Aku lebih tak bisa
mengajakmu. Senyummu masih didamba banyak orang. Nanti ketika kau sudah
kembali, tegarlah dengan semuanya. Jangan pernah lupakan masa-masa yang pernah
kita lewati bersama. Aku tak akan lagi merebut jatah oksigenmu seperti dulu. Aku
tak akan lagi membuatmu tersipu malu. Aku tak akan lagi mengelusmu dan membuat
semua orang iri karena haya aku yang kau izikan untuk melakukannya. Aku mencintaimu,
Sandra. Aku hanya menyatakannya pada satu wanita, kaulah. Knin aku menemukan
hangat yang tak terperi disini, Tuhan sangat menyayangiku, juga menyayangimu,
kutunggu kau di keabadian, ditepi sungai yang airnya seputih susu, di
persimpangan langit tempat kita menancapkan mimpi-mimpi kita dulu”.
Lalu, ia menangis. Akupun juga. Kristal bening ini
mewakili mulutku yang bisu tiba-tiba. Aku menjadi seperti patung, kaku tak
mampu bergerak sama sekali. Hanya aliran kristal bening ini yang menderas, tak
tertahankan. Namun tiba-tiba aku tersenyum, ada bahagia yang menyusup dipasukan
kesedihan yang mengepung pertahanan hatiku. Ia memudar, aku tetap mematung
dengan senyum sekaligus aitmata. Lalu ia hilang, dan aku tetap mematung,
sendirian menjadi patung yang tersenyum sekaligus menangis. Sepasang bangku pojok
kelas dekat jendela kosong satu.
Terdengar nada sms di hpku. Dengan malas dan sedikit
cemas, aku beringsut lambat mengambilnya. Dari notification yang ada di
layarnya, aku tahu kalau sms ini dari Amalia.
“Innaalillaahi wa innaa ilaihi raajiun,telah berpulang
ke rahmatullah, kawan, sahabat, saudara kita Aska Langit, tadi pagi pukul
03.00. Semoga ia ditempatkan di pelukan Tuhan, dan segenap keluarganya
diberikan ketabahan.” Lalu aku terisak, menagis sejadi-jadinya. Hatiku bergetar
hebat, tertikam kenyataan yang begitu meruntuhkan. Lalu pikirku melayang,
mengawang mimpiku yang barusan. Kau, ternyata tadi Kau berpamitan, Aska… dan
aku kembali menangis, jatuh dalam tikaman yang lebih dalam, sebelum akhirnya
aku mampu bangkit, dan mengantarnya dalam hangatnya dekap sayap-sayap malaikat, dan penantianku selama enam tahun, dia membalasnya dengan penantian yang hanya Tuhan yang tahu durasinya.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar