Malam datang dengan membawa serta kesunyian. Kota telah terlelap,
hanya lampu lampu jalan serta kunang-kunang di tepi sungai yang
membungkusnya dengan keremangan. Sejenak, para manusia dapat melenakan
dirinya diantara terpaan angin malam, menanggalkan beban & isi
pikiran, menaruh cita-cita, hutang, maupun tugas serta pekerjaan.
Langkahkan kaki sebentar ke bawah hamparan kerajaan langit, &
pandangi rembulan yang menyuguhkan tarian.
Bukan merenung, bukan juga
berpikir. Hanya menentramkan perasaan, menghampakan hati, &
kosongkan jiwa. Hanya pandangi sang rembulan saja, temukan gemulai
geraknya & betapa ia begitu mahir menyesuaikan diri dengan irama
alam. Cobalah ikuti, putarlah terlbih dulu pada poros tempatmu berdiri,
lalu melangkahlah berkeliling ranting-ranting pohon yang menengadah itu.
Menarilah, bersama rembulan.
Irama alam itu, sayup sayup semerdu
tabuhan gendang yang di padu petikan mandolin, serta para bambu yang
telah berubah menjadi seruling tertiup...dengarlah, & teruslah
menari. Berkeliling kebun, pedesaan, perkotaan, pulau-pulau,
negeri-negeri, bulatan bumi, kemudian matahari. Teruskan tarianmu,
sampai kau mengelilingi galaksi, hingga ke maha galaksi.
Bagaimanakah?
Kau baru saja menjadi penampil pada festival cinta... Ukurlah tarianmu,
lebih indahkah dari tarian rembulan? Setiap putaran, ia menari tujuh
lapis gerakan sekaligus : tarian tujuh lapis langit. Begitulah, rembulan
yang beku kering itu bekerja amat keras, dengan kodrat tanpa memiliki
sifat malas, ia bahkan tidak diizinkan untuk terlambat satu detikpun,
atau sistem kosmos akan jadi tidak karuan. Betapa setianya ia, rembulan
sang penari, yang tak pernah meninggalkan bumi, bahkan ia tiada mungkin
bergeser sejengkalpun dari titik keberadaanya, dari titik koordinat
langit..
Dikembangkan dari puisi Tarian Rembulan buah karya Emha
Ainun Nadjib (Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri
Cinta)
Fauziyah S.N.
01.10.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar