Selasa, 30 April 2013

Happy Birthday Bu Amel :)



Aku sedang menempuh jalanku ketika itu, menempuh jalan dengan beban yang terpikul di pundakku. Terkelabuhi dengan iming-iming angka palsu yang katanya ajaib bisa menentukan masa depan. Aku yang ketika itu ambisius pernah terperosok ke jalan yang dihalalkan sebagian besar teman-temanku, hanya teman-temanku, bukan Bapak Ibuku bukan juga agamaku. Sebenarnya, ada gumpalan dosa yang memberatkan hati beberapa kilo setelah aku melakukannya, tapi aku yang tidak ingin kalah tetap melakukannya.
            Alhamdulillaah, Allah memang Maha Baik kepadaku, entah tepatnya tanggal berapa aku bertemu dengannya, entah tepatnya hari apa, jam berapa, dan dimana pertama kali aku bertemu dengannya. Mungkin di kelas. Ah, tidak, sepertinya di lapangan saat upacara bendera. Aku lupa saat-saat bersejarah itu, namun aku tidak akan melupakan ia, seseorang yang tulusnya luar biasa, yang kasih sayangnya tiada tara.
            Bertemu dengannya, aku banyak belajar , pelajaran hingga kini kupatri lekat-lekat dalam fikir dan hati. Bukan tentang ilmu ekonomi, tentang macam-macam pasar, uang, atau bank – karena dulu ia guru ekonomiku— yang aku  memang tidak tertarik sejak awal. Bukan tentang itu. Tapi tentang universitas kehidupan. Tentang berkata tidak. Tentang akhlak. Tentang semangat. Tentang tanggung jawab. Tentang hari esok, esok yang masih saaangaaaat panjang. Dan tentang jalan-jalan yang secara otomatis akan dibentangkan bagi orang-orang yang bukan pecundang – mempecundangi dirinya sendiri.
            Ia sosok wanita, istri, ibu, guru, saudara, sahabat, rekan kerja, pembelajar, pengajar, dan manusia yang hebat, yang aku selalu cintai dan kami selalu cintai, yang akan aku selalu ingat dan kami selalu ingat dalam perjalanan kehidupan yang entah seberapa panjangnya ini. Ia yang akan selalu kami ridukan kehadirannya dalam setiap jengkal langkah hidup kami. Selamat ulang tahun Ibu Amel, semoga senantiasa bermanfaat bagi semuanya, menginspirasi semuanya… We LOVE You, Ibu…We LOVE You…

Minggu, 28 April 2013

Bentang Sajadah Maghribku



Kristal ini tiba-tiba saja jatuh tanpa mampu ku kendalikan. Ia hadir mengisi senjaku yang selalu menakjubkan. Teriring foto-fotonya yang kullihat di jejaring sosialnya saat ini, kenangan itu menjelma menjadi kenangan yang teramat ku rindukan. Dalam hati, aku memohon kepada Tuhan untuk tidak pernah merubahnya menjadi orang lain meskipun aku  percaya penuh Ia mampu melakukannya.
            Aku melihatnya tersenyum dengan pipi chubbynya dan wajah kekanak-kanakannya. Fotonya saat 4 tahun yang lalu, saat dimana aku belum mengenalnya. Lalu, foto saat ia berseragam putih abu-abu, masa dimana aku merasa sangat nyaman berada di sampingnya. Lalu foto aku dan dia sedang tertawa bersama, manyun bersama, sok sedih bersama, sok serius bersama, ah…masa-masa alay kami. Foto yang kulihat, semuanya, bukti otentik kedekatan kami, dulu, dan entah sampai kapan, karena kini meski kami telah jauh, kami tetap menjaga hubungan yang indah ini.
            Oh..menyadari jarak yang terbentang, ketakutan menelusup menikam keindahan senja ini. Semakin senja menghilang, semakin langit menghitam, bayangan ini semakin menjadi momok bagiku. Aku masih ingin berada pada tempat yang sama dengannya. Masih sangat ingin. Sangat ingin. Dan aku terhenyak. Aku keluar dan melihat langit yang setia memayungiku. Masih langit Salatiga. Belum berubah. Hatiku tertikam kembali. Lebih hebat. Bukan hanya daratan yang menjadi tempat kami berpijak yang jaraknya ribuan kilo, tapi juga langit yang mulai berubah warnanya itupun juga telah berjarak beribu kilo. Kembali kristal ini mendesak mataku. Keluar lebih deras dari yang sebelumnya. Aku benar-benar rindu. Kuharap langit disana sama persis dengan langit Salatigaku. Kuharap senja disana sama persis dengan senja di Salatiga.
            Aku masih larut dalam ketakutanku. Aku masih berkutat dengan kenangan itu. Diatas bentang sajadah maghribku, aku menelisik asal muasal dari perasaan ini. Aku memutar kembali reka adegan tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun saat Tuhan mengizinkanku membagi oksigen dengannya, di masa yang paling indah, di tempat yang begitu bersejarah. Siluet wajahnya tergambar jelas dalam mataku yang terpejam, senyum itu, mata itu, alis itu, telinga itu, dahi itu, dagu itu, pipi itu, gigi itu, semua sempurna tergambar, wajahnya benar-benar sempurna tergambar, diatas bentangan sajadah maghribku. Tapi hal itu belum cukup menjadi alat untuk menelisik asal muasal perasaan ini. Aku masih kebingungan, sementara Kristal bening ini menderas tanpa mampu kukendalikan.
            Aku memilih mengacuhkan penelisikanku untuk sejenak. Tasbih tahmid kulantunkan sebagai rasa syukurku atas kenangan yang menyeruakkan beribu rindu. Tuhan, aku ingin berbicara denganmu, bertanya tentang ini itu, yang aku tak tahu, bertanya tentang ini itu, yang aku ingin sekali tahu. Lalu dengan tartilan sebisaku, aku membuka mushaf suci dari Ibu. Semakin  lama, rasanya semakin damai, semakin tenang, semakin hatiku terasa sejuk. Dan krtistal ini, entah untuk yang keberapa kali menitik begitu saja. Bukan lagi karena keresahan dan desakan rindu yang tak aku mengerti, namun lebih karena ketakjubanku dan rasa syukurku pada Tuhan senja itu. Satu ayat yang indah, yang menggetarkan sebongkah hatiku tiba-tiba, yang semoga menjadi jawaban penelisikan atas rasa ini, atas ketakutan ini, atas kerinduan ini, atas kenangan-kenangan ini, atas perbedaan darat dan langit, juga atas jarak yang sebenarnya  jauh namun tak kunjung memisahkan. واصطنعتك لنفسي –Dan Aku telah memilihmu untuk diriku—Maha Benar Engkau yang Maha Agung dengan Segala firmanMu... Entah akan berapa banyak kristal ini akan menitik, aku tak terlalu punya keinginan untuk menghitungnya. Aku hanya akan terus menjadi setia, sesetia langit Salatiga memayungiku hingga masa yang aku tak mampu tahu.

Suka Duka Bidik Misi



Sebelumnya, saya minta maaf, amat minta maaf kepada semua anggota organisasi bidik misi di kampus saya. Bukan maksud saya acuh dan tidak mau berkecimpung dalam organisasi. Terkadang, saya sangat berniat untuk itu, tapi waktu saya tidak sefleksibel masa dulu saya. Saya tahu dengan menyatakan hal ini lantas saya tidak serta merta menjadi langsung peduli. Atau langsung berperan, tidak. Tapi, semoga sedikit cerita saya ini bisa bermanfaat untuk Anda semua.
            Pagi itu, di asrama, Bapak saya melalui telepon bertanya kepada saya tentang pencairan bidik misi semester ini, beliau yang memang baru pertama kali mengizinkan saya tinggal ‘diluar rumah’ kala itu khawatir saya kehabisan uang. Beberapa hari sebelumnya. Saya bercerita kepada Ibu tentang keuangan saya yang memang sudah menipis. Mungkin bagi sebagian orang, hal yang seperti itu biasa saja, lalu dengan santai langsung saja minta kepada orangtua. Tapi saya, mungkin karena sejak kecil saya jarang sekali meminta kepada Bapak Ibu, saya canggung, saya merasa tidak berani berkata yang sebenarnya kepada Bapak. Ya, pada saat itu, saya berbohong kepada Bapak, tapi tidak sepenuhnya berbohong.
            Ketika Bapak saya bilang apa saya uang saya masih cukup, saya bilang masih. Dan kenyataannya uang saya memang masih cukup untuk hidup. Yang saya agak sayangkan  ialah, untuk memperpanjang nafas saya di asrama, saya harus mengambil dari tabungan yang saya khususkan, yang saya peruntukkan hanya untuk melanjutkan study saya kelak. L Sebenarnya, Bapak tidak akan merasa keberatan untuk memberikan uang saku lagi seperti saat saya masih SMP, tapi saya bukan anak SMP lagi, saya pun kini sudah sedikit demi sedikit mengumpulkan seperak dua perak sendiri.
            Sebenarnya, ketika itu saya tidak ingin – sangat tidak ingin mengambil tabungan yang saya kumpulkan sedari SMA itu, tapi keadaan tiba-tiba menjadi pendesak yang sakti untuk saya kemudian merelakan sebagian uang dan  menggunakannya bukan untuk pendidikan yang saya idamkan.
            Desas-desus akan cairnya bidik misi semester ini pada awal bulan April lagi-lagi hanya isapan jempol belaka. Kenyataan di dunia yang sebenarnya, tak ada sepeserpun yang uang dari Negara yang masuk ke rekening  kami. Entah telah nyangkut di kantong mana, entah saya tidak tahu. Kami sudah bukan sekecil dulu sehingga kami bisa Anda kibuli, dan Anda rayu dengan manisnya janji yang ternyata dusta itu. Kami membawa menjunjung nama Bidik Misi di pundak kami, kami sadar, dan Kami berusaha memberikan yang terbaik demi nama Bidik Misi yang ada di pundak kami ini. Kami berusaha menstabilkan IP kami, mengikuti kegiatan yang diperuntukkan bagi kami, dan kami tinggal jauh dari orang tua hanya karena kami ingin mematuhi kewajiban kami sebagai penerima bidik misi, tapi tidak bisakah Anda yang telah dipercaya, memberikan yang tebaik juga untuk kami?  
            Bukan hanya masalah nominal yang kami gugat disini. Itu bukan hal yang utama, kami hanya ingin melihat kinerja yang jelas, komitmen yang yang jelas pula dari yang bertugas. Anda yang bertugas mengurusi kami ialah orang terpilih yang paling bisa di andalkan untuk ‘mengurusi’ kami, kami percaya itu. Kami sangat berterimakasih atas kesempatan dan bantuan yang telah tersalurkan dengan baik kepada kami di semester yang lampau, dan untuk semester ini, kami berharap hak kami akan segera sampai kepada kami, segera secepatnya. Semoga Anda sadar, dan menunaikan tugas yang seharusnya Anda penuhi, sebelum pertanggung jawaban atas tugas Anda diminta oleh yang Maha Meminta Pertanggungjawaban. Ini hanya sedikit cerita yang saya alami dan kemungkinan besar dialami oleh teman-teman saya penerima bidik misi di kampus ini maupun di kampus lain, tidak lebih. Terimakasih.

Percayalah (Karena Saya Sayang Kalian)



            Izinkan saya sejenak berbicara tentang realita yang seringkali membuat hati saya menangis. Hati saya menangis bukan karena saya jengkel, sebal, marah dan perasaan yang semacam itu, tapi karena rasa sayang yang teramat pada kalian, pada agama saya, dan pada bangsa saya yang sekarang sedang sakit ini. Saya sebenarnya belum cukup pantas untuk berbicara tentang sesuatu yang kaitannya dengan hati nurani, yaitu KEJUJURAN. Saya sangat percaya, bahwa Anda semua sudah dewasa, bahkan lebih dewasa dari pada saya. Oleh karena itu, izinkan saya yang masih kecil ini menyampaikan cerita dan analisa yang mungkin kurang tepat untuk sebagian orang.
            Dengan mata kepala saya sendiri, tempo hari saya melihat seorang calon bapak (karena isterinya sedang mengandung) repot menata ulang meja pengawas ujian yang sudah tertata sebelumnya hanya demi keinginan ‘kerja sama’ dengan rekannya saat UTS sedang berlangsung. Padahal dari yang saya kira, beliau adalah orang yang terbijaksana di angkatan ini. Bukan hanya dari segi umur yang memang sudah senior jika dibandingkan dengan kami, tapi juga asam garam yang beliau kecap pasti lebih lebih banyak daripada saya. Ia sudah menjadi seorang suami *red pemimpin, menantu, anak, dan kini menjadi calon bapak, tapi yang sangat saya sesalkan ialah usaha beliau yang begitu ‘niat’ hanya untuk ‘kerja sama’ (atau suudzon saya, beliau nyontek juga). Tapi, itu hanya sekedar  fakta yang saya lihat, yang menurut saya salah, yang menurut saya kurang tepat, yang menurut saya tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang sebentar lagi menyandang gelar BAPAK (saya tidak membayangkan jika Bapak saya dulu nyontek atau calon anak orang itu tahu bapaknya nyontek)…
            Dari kejadian itu, saya hanya ingin bilang sedikit saja pendapat saya yang Anda boleh setujui dan Anda boleh tidak setujui. Di hati nurani saya yang dalam, saya tentu ingin mendapat nilai bagus, tentu saya ingin. Tapi dihati nurani saya yang lebih dalam, saya tidak ingin membohongi diri saya sendiri. Salah satu cara untuk itu ialah dengan tidak ‘kerjasama’ atau mencontek saat apapun dengan cara apapun. Saya tidak ingin menjadi seperti buah semangka yang besar dan bagus kulitnya, tapi ternyata busuk isinya. Saya juga tidak ingin menjadi pecundang rela melakukan segala cara padahal ia tahu cara yang ia lakukan itu salah.
            Saya selalu miris ketika menyadari diantara teman saya bahwa ‘kerja sama’ dan nyontek itu adalah bentuk solidaritas, bentuk kepedulian yang berlandaskan sebuah persahabatan. BUKAN. Hal –hal yang seperti itu justeru jalan sesat. Saya tidak pernah ingin menjadikan sahabat saya seorang pembohong, yang membohongi dirinya sendiri, dan seorang pecundang, yang mencundangi dirinya sendiri. Dan saya rasa semuanya sepakat dengan saya tentang keinginan yang barusan saya kemukakan. Kita semua sudah dewasa, sudah memilih jalan yang akan kita tempuh, sudah berjalan diatas jalan itu, sudah melewati naik turun dan kelokan-kelokan disepanjang jalan, dan pastinya sudah tahu yang benar-benar benar, dan yang benar-benar salah. Kita pasti tahu, siapa yang lebih hebat. Menurut saya lebih hebat orang yang jujur tapi nilainya buruk, daripada yang nilainya selangit tapi curang.
            Pernahkah Anda semua sekali saja berfikir tentang apa jadinya Islam dan Negara Indonesia ini sepuluh tahun mendatang ketika generasi penerusnya ialah generasi yang handal dalam kecurangan?? Saya ingat kata seorang guru saya, bahwa pada tahun-tahun mendatang, yang akan mendidik anak-anak beliau ialah kita, maka dari itu, beliau memberikan pendidikan yang terbaik, pendidikan yang luar biasa baik, demi kebaikan kita, bukan hanya baik dari segi akademis saja, tapi yang lebih penting daripada itu ialah baik dari segi akhlak. Dan benar saja, kita sekarang disini ialah calon pendidik, yang menjadi tonggak dari nasib bangsa ini, agama ini. Kalau sekarang saja sudah seperti ini, tahan-tahun mendatang akan seperti apa?? Oh..sekali lagi kawan, teman, sahabat, saudara, saya menulis ini karena saya amat menyayangi kalian, agama, dan bangsa saya. Semoga bermanfaat, jujur itu menyenangkan, apaun hasilnya tetap terasa menyenangkan… Bukankanlah Sang Maha Pintar telah  mengaruniakan milyaran sel di otak, yang sangat mubadzir jika tidak kita pergunakan dengan baik?? Kawan, teman, sahabat, saudara, bahwa hebat bukanlah ketika semua nilai kita A, tapi ketika kita tidak mencundangi diri kita sendiri, ketika kita tidak membohongi diri kita sendiri. Lihatah orang-orang yang benar-benar hebat disekitar Anda semua, adakah diantara mereka satu saja yang gemar melakukankecurangan?? J

Rabu, 10 April 2013

21 : Happy Birthday Ida Afwa

Seperti biasa, setiap pagi saya melihatnya di samping saya. sering saya melihatnya masih tidur ketika saya bangun, atau kadang-kadang sedang bercakap dengan seseorang di seberang saya lewat telefon. Pagi itu, pukul 2 lebih sekian, saya bangun dan mendengar sayup-sayup pembicaraannya dengan seseorang. Disampingnya, seorang teman lain juga seedang bercakap dengan seseorang lewat telefon.
Seketika itu saya sadar, bahwa hari ini ialah ulangtahunnya. 10 April 2013. Saya tiba-tiba ingin memeluknya dan berkata "Sugeng milad Mbaaaah" *mbah : panggilan sayangku untuknya. Tapi keinginan itu saya redam. di balik selimut saya tertawa sendiri. Teman-teman yang lain kompak melakuan hal yang sama kecuali Umi Nafi, hehehe. Jauh-jauh hari, kami telah menyiapkan surprise kecil untuknya, meski kecil, kami usahakan semanis mungkin dan tak akan terlupakan.
Kami di tempat ini hanya tinggal 3 atau 4 bulan lagi, jadi sebisa mungkin kami ingin melukis kenangan yang tak terlupakan. 2 malam sebelumnya, kami sudah memesan tart warna biru, warna kesukaannya. Kemudian, semalam sebelum hari H, kami di kamar yang sama dengannya merencanakan eksekusi surprise hari esok.
Sampai jam 7 pagi, semuanya masih sama. Kami --saya, mbak Luluk, mbak Rini, Mbak Mamah, dan Umi Nafi -- Seperti biasa bersiap-siap berangkat kuliah. Jadwalnya hari ini sampai pukul 2 siang, jadi kami punya banyak waktu untuk mampersiapkan banyak hal. Dengan sticky notes yang saya punya, saya membuat ucapan selamat yang ditempelkan di dindng kamar kami. Tidak lupa sebuak foto kenangan yang terdiri dari anggota kamar kami. Hujan yang turun siang itu tidak menyurutkan langkah dan hasrat kami untuk merayakan hari ini. Pulang dari cetak foto, saya dan mbak Luluk mendapatinya kedinginan di kamar. Ia memang punya alergi dingin, jadi kasihan jikalau ia harus hujan-hujan. Kami saat itu pura-pura tidak tahu jika ia ingin mentraktir kami. Dan ketika kalimat " Sekarang apa besok ?", tanpa dijelaskan apanya yang sekarang atau besok, kami kompak bersorak : " sekaraaaaaaang...", padahal saat itu hari sedang hujan.
Dan kamipun dengan berjalan kaki bersama-sama menuju sebuah warung bakso di dekat ma'had kami. Kami makan, kami senang...traktiran benar-benar menyenaangkan bagi kami yang uang sakunya pas-pasan.
Pulang dari makan bakso, ia masih mengajak kami mampir ke swalayan untuk beli ice cream, padahal, saat itu hujan semakin deras. Mungkin karena kebersamaan kami, jadi semuanya terasa hangat, sangat hangat.
Kamipun pulang dari rihlah yang menyenangkan.Sampai di kamr, kami melaksanakan shalat ashar terlebih dahulu sebelum kami melanjutkan 'makan-makan' kami. Ice cream dan udara dingin tetap terasa nikmat sore itu.
Kami main permainan abcde dengan perjanjian, yang kalah harus meakukan apapun yang dinginkan yang menang. dan takdir Allah yang sangat indahpun menakdirkannya yang kalah.Iapun kami paksa membuka kotak ajaib yang berisi amunisi perut kami. Lalu, lkami kompak berteriak : surpriseeeeeee....:D lagu happy birthday berkumandang di kamar kami, lalu kamipun mendoakan kebaikan untuknya. Hari berjalan begitu menyenangkan, dan semoga bahagia ini berkelanjutan...:) Selamat ulang tahun Mbah Nur Ida Afwa.......semoga kebakan demi kebakan terlimpahkan kepadamu :) semangat kuliah yaaa..:D

anakmu bukan anakmu : Fauziyah Suci Nurani :D